Haruskah


Dua tahun sudah aku tidak bersekolah. Saat ini aku rindu duduk di kelas, aku rindu dengan pekerajan rumah yang diberikan guru, rindu dengan pakaian Putih biru, rindu cerita bareng teman teman dan rindu dengan semua aktifitas sekolah.

Selama itu jua aku mengembarah berpindah dari satu rumah sampai kerumah yang lain dari satu kota ke kota yang lain. Semua tak lain untuk bertahan hidup.

Usiaku saat itu 13 tahun. Tapi aku tidak lagi tinggal dengan kedua orang tuaku. Semua itu adalah kesalahanku karena ketika masih sekolah aku tidak serius untuk menyelesaikn pendidikan. Aku tidak suka dikekang, aku hanya ingin kebebasan.

Dan tentu saja kebebasan itupun akhirnya aku dapatkan Ayah dan Ibu tiriku tidak lagi memperdulikanku. Mereka membiarkanku untuk menentukan pilihan hidup sendiri.

Setelah aku mendapatkan kebebasan barulah aku tahu betapa kerasnya kehidupan yang sebebarnya. Sanak saudara dan handai taulanpun tidak bisa membantuku untuk mencukupi nafkah hidupku.

"Ya Tuhan seperti inikah hidup?" Aku mengeluh dalm hati.

Sepanjang malam aku tak bisa tidur, karena saat ini aku tinggal dengan paman dan bibik yang memiliki 6 orang anak. Bayngkan guys mereka berdua pontang panting mencari sesuap nasi agar anak anak mereka tidak kelaparan. Belum lagi harus mencukupi keperluanku.

Aku menyadari betapa paman dan bibi berjuang keras untuk mencukupi kebutuhanku. Aku masih punya banyak saudara tapi entah nengapa aku hanya ingin tinggal di rumah ini, walaupun harus berbagi makan, dan berdesak desakan untuk tidur, aku tetap nyaman berada di rumah ini.

"Ayo makan makan" seketika suara bibik membuyarkan lamunanku.

Aku segera bergerak menuju dapur yang berukuran 2 x 4 meter dengan dinding bambu serta lantai tanah. Sangat miris bukan. Tapi aku masih betah tinggal di rumah ini.

Satu persatu piring kami diisi dengan nasi yang dimasak sangat lembek persis seperti bubur. Hal itu terus saja terulang karena untuk mencukupi makan kami terpaksa bibik memasak nasi sengaja dibuat bubur biar lebih banyak. Tak lupa sambal goreng. Walaupun makanannya hanya nasi dan sambal tapi aku tetap bahagia ketimbang aku tinggal dengan bibik yang lain tapi setiap hari aku harus mendengarkan pertengkaran mereka.

"Ge kamu yang cuci piring yo!"ucap hana anak bibik yang usianya sama denganku

"Ya!"jawabku singkat

Kami berenam selalu diberi tugas baik itu membantu paman kekebun, mencuci pakaian, memasak dan beres beres rumah semuanya dibagi rata. Tak jarang pertengkarn kecil selalu terjadi diantara kam. Tapi entah mengapa aku masih bertahan dirumah ini.

Aku jadi rindu sekolah karena setiap pagi aku selalu melihat hana berangkat sekolah dengan seragam putih biru. Sementara anak bibik yang lain hanya mendapatkan ijazah SMP. Kerasnya hidup memaksa mereka harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Tinggal hana sendiri yang bersemangat untuk sekolah. 

Setiap pagi aku yang harus cuci piring sementara hana beres beres rumah dan sore hari hana yang cuci piring sementara aku beres rumah. ka Onda dan ka efi mereka yang gantian menyiapkan makan, tak ketinggalan ka Prisi dia bagian mencuci pakaian. Sementara ka jefri dan ka jemi mereka yang membantu paman di kebun.

Hari hari berada di rumah itu terasa sangat mengasyikan tapi satu tahun berlalu tuntutan ekonomi semakin mendesak mereka untuk mencari tambahan nafkah. Ka Onda pamitan untuk bekerja di Kota begitu juga dengan ka Efi. Mereka berdua sangat sabar dan penyayang. Pertengkaran yang terjadi di antara kami merekalah yang mendamailan. Akhirnya tugas masak memasak berahli pada bibik.

Komentar

Postingan Populer