Purnama

Purnama part 1

Aku Purnama Mentari. nama itu disematkan dengan harapan agar aku seperti Bulan Purnama di Malam hari yang terlihat indah memantulkan cahaya malam dan seperti mentari di siang hari yang selalu bersinar dikala siang menyapa.

aku dibesarkan oleh Opa dan Oma dari pihak Papa. aku tumbuh menjadi gadis periang serta hidup seperti layaknya anak kecil lainnya. mereka sangat memanjakanku. bahkan aku menjadi cucu kesayangannya.

aku dan Oma selalu duduk di teras Rumah ketika Bulan purnama tiba. kami bercengkeramah manjah bahkan Opapun tidak ketinggalan menyapa aku dan Oma dengan semua kelucuannya. dia Opa yang  selalu menghiburku.

"Oma bagaimanakah Wajah mama" tanyaku sambil menatap purnama

"Dia mirip denganmu"jawabnya singkat

"Mama di Surga ya oma" tanyaku

"Iya sayang"Wanita tua itu menjawab tanpa ada ekspresi sama sekali.

pertanyaan ini selalu saja aku lontarkan ketika kami sedang bersantai di teras rumah. ketika purnama muncul aku selalu merindukan sosok mama tapi jawaban dari mereka berdua sungguh tidak memuaskan.

"tak usah lagi kamu tanyakan wanita itu, dia sudah tenang di sana" Opa ikut angkat bicara. ada nada kemarahan disana tapi lelaki tua itu terus menutupinya.

aku membalikkan pandangan ke opa hingga mata kami bertemu sesaat kemudian aku kembali memeluk Oma dan meringkuk lebih dalam di tubuh rentahnya sampai aku tertidur pulas.

Perjalanan pulang kerumah yang berjarak 200 meter ditempuh dengan jalan kaki tentunya sangat melelahkan ditambah sengatan matahari terasa sampai ke pori pori kulit.

Mataku sembab rambutku awut awutan dan pakaianku  penuh dengan noda coklat muda yang menempel tak beraturan.  aku baru saja berantem dengan meidi anak Kepalah Sekolah yang sombong dan angku itu.

aku sangat kesal dengannya karena selalu mengejekku dengan sebutan 'rambut ekor kuda' secepatnya aku melompat kearahnya dan langsung menarik unjung rambutnya yang diikat satu di bagian belakang kepala. dia berteriak kesakitan. Tapi mengejeknya masih terlihat diwajahnya.  tanpa membuang waktu kucengkram lebih kuat dan kutarik kesamping sampai tubuhnya membentuk sudut 90 derajat. dia merintih kesakitan diikuti dengan tangisan yang mengglegar. Tiba tiba saja aku merasakan  perih di bagian pipihku dan benar saja kuku tajamnya sudah menggoresnya hingga tetlihat.

aku merasa puas setidaknya hari ini aku sudah melepaskan semua amarahku yang terpendam. selama ini aku hanya diam medengarkan ejekkan teman teman terutama si anak Kepsek itu. disisi lain aku jadi takut karena beso aku pasti diintrogasi oleh Orang tuanya.

karena terlalu letih aku beristirahat di perempatan jalan,dan duduk mengamati kendaraan yang lalu lalang. Aku masih memikirkan tentang kejadian barusan. Aku pasti dimarah Oma. Ada penyesalan tapi semua sudah terjadi, semua konsekuensi haruslah aku hadapi termasuk aku akan dimarahi habis habisan oleh Ortunya Meidi di Bapak kepalang Sekolah.

Tak mungkin

Komentar

Postingan Populer